News

Rebo Wekasan: Antara Mitologi, Ritual, dan Keresahan Zaman Now

Meda Karya - Monday, 18 August 2025 | 12:00 PM

Background
Rebo Wekasan: Antara Mitologi, Ritual, dan Keresahan Zaman Now

Pernah nggak sih, kalian ngerasa Indonesia ini emang nggak ada matinya soal tradisi unik? Dari Sabang sampai Merauke, selalu aja ada ritual atau kepercayaan yang bikin kita geleng-geleng kepala sekaligus kagum. Salah satunya, nih, yang sering jadi buah bibir tiap tahun, terutama pas bulan Safar tiba: Rebo Wekasan. Konon katanya, di hari ini, mala petaka bakal turun berbondong-bondong ke bumi. Bikin merinding, kan?

Apa Itu Rebo Wekasan dan Kenapa Bikin Deg-degan?

Rebo Wekasan itu, secara harfiah, berarti "Rabu Terakhir". Lebih spesifiknya, ini merujuk pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Kepercayaan yang udah mengakar kuat di masyarakat Jawa dan sebagian komunitas Muslim lain di Nusantara adalah bahwa pada hari tersebut, akan turun ratusan ribu, bahkan jutaan bala atau musibah dari langit. Gila nggak sih? Bayangin aja, cuma dalam satu hari, dunia ini kayak lagi diserbu musibah.

Asal muasalnya? Banyak versi. Ada yang bilang ini berakar dari ajaran salah satu Wali Songo, Sunan Kalijaga, sebagai upaya tolak bala setelah melihat kejadian aneh-aneh di zaman itu. Konon, sang Sunan menganjurkan amalan tertentu untuk memohon perlindungan dari Allah SWT. Tapi ada juga lho, ulama atau sejarawan yang bilang kalau tradisi ini sebenarnya nggak ada dasarnya dalam ajaran Islam murni dan lebih condong ke akulturasi budaya lokal yang berkembang dari zaman pra-Islam. Nah, ini dia nih, yang bikin Rebo Wekasan selalu jadi perdebatan menarik dan bikin penasaran.

Ritual "Anti-Bala" yang Nggak Kalah Unik

Oke, kalau bala mau turun, terus gimana dong cara ngatasinnya? Tentu saja, masyarakat kita nggak tinggal diam. Berbagai ritual pun dilakukan sebagai upaya tolak bala atau memohon keselamatan. Ini dia beberapa yang paling populer dan sering kita dengar:

  • Salat Tolak Bala: Ini mungkin yang paling sering disebut-sebut dan juga yang paling banyak jadi perdebatan. Salat sunah khusus yang katanya dilakukan empat rakaat dengan niat dan tata cara tertentu, tujuannya ya buat menolak bala. Tapi, balik lagi, salat ini juga yang paling banyak jadi pro-kontra di kalangan ulama. Ada yang membolehkan sebagai bentuk ikhtiar dan doa, ada juga yang menolak keras karena dianggap nggak ada dasar syar'inya secara eksplisit dari Rasulullah SAW dan dikhawatirkan bisa menjurus ke bid'ah. Jadi, kalau mau ikut, kudu hati-hati dan paham ilmunya, ya. Pastikan niatnya lurus dan sesuai ajaran.
  • Kenduri atau Selametan: Ini tradisi yang udah mendarah daging di Nusantara, nggak cuma pas Rebo Wekasan aja, tapi untuk berbagai acara penting. Biasanya, masyarakat berkumpul di satu tempat, membaca doa bersama yang dipimpin sesepuh atau kiai, lalu makan-makan hidangan yang udah disiapkan. Di Rebo Wekasan, kenduri ini dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari musibah dan mempererat tali silaturahmi. Enak kan, kumpul-kumpul sambil ngemil dan doa? Solidaritas sosialnya dapet banget!
  • Mandi Safar atau Siraman: Nah, kalau yang ini lebih ke arah simbolis penyucian diri. Beberapa daerah, terutama di pesisir, punya tradisi mandi bersama di laut, sungai, atau sumber mata air keramat. Tujuannya ya biar bersih dari segala kotoran lahir dan batin, serta energi negatif yang konon dibawa bala. Konsepnya mirip-mirip mandi wajib, tapi ini lebih ke spiritual cleansing versi lokal, semacam ritual pembersihan diri dari hal-hal buruk. Di beberapa tempat, airnya bahkan udah didoakan atau dicampur kembang.
  • Membuat Rajah atau Azimat: Ini mungkin agak lebih mistis dan nggak semua orang tahu atau lakukan. Dulu, ada juga praktik menulis rajah atau azimat tertentu di kertas, kain, atau media lain, lalu direndam dalam air untuk diminum atau disimpan untuk tujuan perlindungan. Ada juga yang menulis ayat-ayat Al-Qur'an tertentu di wadah, lalu airnya diminum. Tapi, seiring berjalannya waktu dan makin meleknya masyarakat tentang ajaran agama, praktik ini udah nggak sepopuler dulu, sih, dan banyak yang menganggapnya syirik.
  • Tradisi Lokal Spesifik: Tiap daerah punya caranya sendiri untuk menyambut atau menyikapi Rebo Wekasan. Di Pantai Wonokromo, Bantul, misalnya, ada upacara Labuhan sebagai bentuk sedekah laut. Di Keraton Yogyakarta, ada juga ritual khusus yang dilakukan para abdi dalem untuk memohon keselamatan negara. Di Aceh, ada Meugang, walau maknanya lebih umum untuk menyambut Ramadhan, tapi ada nuansa kebersamaan dan syukur. Pokoknya, variasi Rebo Wekasan ini kaya banget, menunjukkan betapa kayanya budaya kita.

Kenapa Tradisi Ini Tetap Eksis di Era Digital?

Di tengah gempuran informasi dan modernisasi yang serba cepat, rasanya aneh kalau tradisi "kuno" kayak Rebo Wekasan ini masih tetap eksis. Internet udah di genggaman, artificial intelligence makin canggih, tapi beberapa ritual ini masih jalan terus, bahkan ramai. Menurut gue sih, ini menunjukkan beberapa hal:

  1. Kebutuhan Manusia akan Rasa Aman: Siapa sih yang nggak pengen hidup aman sentosa dan jauh dari marabahaya? Ketakutan akan musibah itu universal dan nggak lekang oleh waktu. Tradisi tolak bala, mau secara spiritual atau ritual, memberikan semacam harapan, ketenangan, dan pelipur lara bagi pelakunya. Itu manusiawi banget, kan?
  2. Identitas Komunitas: Ritual-ritual ini seringkali jadi ajang kumpul-kumpul, melepas rindu, dan menguatkan ikatan sosial. Ini bukan cuma soal kepercayaan, tapi juga tentang mempererat ikatan kekeluargaan dan tetangga. Di era digital yang serba individualis ini, justru interaksi tatap muka kayak gini makin langka dan jadi berharga banget.
  3. Warisan Budaya: Terlepas dari pro-kontra agama, Rebo Wekasan adalah bagian dari warisan budaya yang udah turun-temurun dari nenek moyang kita. Melekat dalam keseharian masyarakat tertentu. Menjaganya ya berarti menjaga identitas dan kekayaan bangsa, kan? Ini bagian dari mozaik keindonesiaan.
  4. Interpretasi yang Berbeda: Buat sebagian orang, Rebo Wekasan mungkin bukan lagi tentang "bala" secara harfiah, tapi lebih ke momentum introspeksi diri, memperbanyak doa, bersedekah, dan memohon ampunan. Semacam pengingat spiritual tahunan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini yang bikin tradisi ini bisa "survive" dan beradaptasi di tengah zaman yang berubah.

Menyikapi Rebo Wekasan: Antara Keyakinan dan Kritis

Mengamati Rebo Wekasan ini memang bikin kita bertanya-tanya. Di satu sisi, ada keyakinan kuat yang udah jadi bagian hidup masyarakat selama berabad-abad. Mereka merasakan ketenangan dan perlindungan setelah melakukannya. Di sisi lain, ada juga pandangan rasional dan agama yang kritis terhadapnya, terutama yang menyoroti aspek kesesuaian syariat. Ini bukan berarti salah satu harus menyingkirkan yang lain, lho.

Yang penting, menurut gue, adalah bagaimana kita menyikapi tradisi ini dengan bijak. Kalau memang merasa pas dengan melakukan ritualnya sebagai bentuk ikhtiar dan doa kepada Yang Maha Kuasa, ya silakan saja, asalkan nggak melenceng dari ajaran agama yang diyakini dan nggak merugikan orang lain. Tapi kalau merasa nggak cocok atau nggak sesuai karena alasan keyakinan, ya nggak perlu memaksakan diri atau menghakimi orang lain. Yang jelas, menghormati pilihan dan kepercayaan orang lain itu penting banget. Indonesia ini kan emang surga keberagaman, jadi ya wajar banget kalau ada banyak cara orang merayakan keyakinan dan budayanya.

Rebo Wekasan ini, bagaimanapun juga, adalah cerminan dari kompleksitas dan kekayaan budaya kita. Ia adalah pengingat bahwa manusia selalu mencari cara untuk menghadapi ketidakpastian, baik lewat doa, ritual, maupun kebersamaan. Jadi, di Rebo Wekasan tahun ini, kamu tim yang mana nih? Tim "tolak bala" dengan segala ritualnya, atau tim "tetap santuy sambil berdoa aja"? Apapun itu, semoga kita semua selalu dilindungi dan dijauhkan dari segala macam musibah, ya!

Next News

Popular Article